Pages

Sabtu, 02 Februari 2013

PHDI MESTI BERSINERGI SEBAGAI LEMBAGA TAFSIR WEDA



PHDI MESTI BERSINERGI SEBAGAI LEMBAGA TAFSIR WEDA
Oleh
I Made Adi Surya Pradnya

Syarat diakui sebagai agama harus memiliki kitab suci, begitu pula Hindu kitab sucinya weda, namun banyak umat Hindu tidak mengetahui bentuk weda secara utuh, karena pemahaman teks-teks suci memang tidak dipelajari secara khusus, sehingga menjadi multitafsir, asalkan sesuai logika maka kebenaran sloka, adhiaya ataupun ayat yang terdapat dalam bagian weda dianggap kebenaran. Salah satu indikator kebenaran agama adalah kitab suci. Apabila seseorang yang menekuni salah satu bentuk pembelajaran ataupun mendapat pewahyuan kebenaran teks suci, memberikan penafsiran atas teks suci yang dipercaya dengan dalil serta contoh yang telah diimplementasikan di masyarakat, maka kebenaran itu menjadi dogma yang dipercaya kuat oleh kelompok masyarakat tertentu.
Penyampaian tafsir weda disebabkan adanya pengkultusan seseorang yang dianggap sebagai penyelamat, guru dan pemberi anugrah, sehingga melahirkanlah pemikiran-pemikiran weda yang multitafsir, terlebih penyampaian dilakukan pada tempat yang dianggap spiritual atau mengkhusus, sehingga umat terdoktrin dengan kebenaran yang disampaikan oleh para gurunya. Hal ini tentu mengarahkan kelompok pada doktrin fanatik ekstrim, sehingga weda seharusnya menjadi pedoman hidup manusia untuk kedamaian dan keharmonisan menjadi sekat-sekat pemisah yang mengarah pada konflik internal maupun eksternal.
Permasalahan akan timbul apabila masing-masing individu maupun kelompok yang berbeda penafsiran teks suci bertemu bahkan diskusi tentang kebenaran agama yang mereka anut, maka terjadi pemikiran individu yang dominan, resesif bahkan agresif dalam mempertahankan doktrin teks suci yang sudah mereka yakini, akibatnya ketidakpuasan maupun konflik yang akhirnya mengakar menjadi perseteruan mendarah daging sampai pengikutnya saat ini. Salah satu pengalaman yang penulis pernah ikuti saat para pengikut dalam satu kelompok (Hindu pemikiran weda murni) berdiskusi dengan kelompok lain (Hindu pemikiran budaya Bali) terhadap penafsiran kitab Bhagawadgita, IX: 26, yaitu
pattram, puspam, phalam toyam
yo me bhaktya prayacchati
tad aham bhaktyupahrtam
asnami prayatatmanah
artinya:
siapapun yang mempersembahkan Aku sehelai daun, sekuntum bunga, buah dan air, dengan hati yang tulus iklas akan Aku terima.
Setelah diucapkan sloka bhagawadgita oleh kelompok (weda murni), kemudian diberikan penafsiranya, yaitu beragama Hindu sangat sederhana cukup dengan daun, bunga, buah dan air saja sudah diterima oleh Tuhan, terlebih lagi dengan hati yang tulus iklas, maka sorga pun bisa diterima. Jadi buat apa membuat banten yang besar-besar, bahkan menghabiskan dana yang besar dan di dalam teks bhagawadgita jelas tidak disebutkan membuat lawar, sate, komoh dan sejenisnya untuk dipersembahkan dan dimakan. Oleh karena itu kebiasaan yang berlebihan dalam beragama harus segera dipangkas dan adat harus mengikuti teks suci dan kembali pada weda murni.
Kelompok Hindu yang berorientasi pada kultur Bali kemudian memberikan argument bahwa Hindu adalah agama yang universal dan fleksibel bergerak layaknya bola salju (snaw ball), berkembang sesuai kultur daerah yang dilintasinya, sehingga Hindu tetap ajeg dan terus berkembang tanpa meninggalkan makna kehinduan. Begitu pula dengan pemahaman teks suci bhagawadgita diatas oleh masyarakat Hindu di Bali yang telah diwarisi para leluhur harus dilestarikan dan dikembangkan sebagai kekayaan budaya Hindu. Begitu pula makanan yang nikmat adalah surudan Ida Bhattara. Oleh karena itu apabila kita mempersembahkan lawar, sate, babi guling, dan lain sebagainya, maka itulah yang kita nikmati, namun jika kelompok anda hanya mempersembahkan sekuntum bunga, sehelai daun, seteguk air dan buah, maka itulah yang anda nikmati. Jadi apabila ada persembahyangan bersama, kelompok anda cukup menikmati persembahan itu dan kami puas dengan olahan daging yang kami persembahkan dan kami tidak bisa membayangkan kelompok anda memakan prasadam seperti itu. Hasil dari diskusi ini adalah konflik tanpa menghasilkan sesuatu.
Alasan media pendidikan ajaran Hindu melalui dharma wacana sulit untuk dikembangkan dan dipelajari serta diamalkan umat Hindu, karena banyaknya penafsiran weda yang digunakan oleh dharma pracaraka (pedharma wacana) untuk menyampaikan isi dharma wacana, terlebih dharma wacana bertema banten, masing-masing dharma pracaraka memiliki penafsiran berbeda-beda, sehingga adat istiadat yang menjadi keseharian masyarakat Umat Hindu khususnya di Bali menjadi tambah rancu. Contoh saja sebuah desa biasanya  melaksanakan banten saiban sehari-hari hanya di beberapa tempat (dapur, di pekarangan dan di depan rumah), namun dengan adanya dharma wacana, hampir di setiap lubang yang terdapat dirumah mesti dihaturkan termasuk pula pisau dan pekakas dapur di berikan banten saiban. Hal ini dirasakan menyulitkan umat Hindu. Begitu pula teologi di masing-masing merajan maupun sekitar pekarangan rumah berbeda-beda penafsiran, contoh sanggah kemulan, yang berstana adalah tri murti, sang hyang guru, kawitan dan lain sebagainya. Kesemuanya itu dicarikan dalam teks-teks lontar yang di tafsirkan dari weda oleh para dharma pracaraka.
Hal tersebut merupakan bagian terkecil dari perbedaan penafsiran, terhadap teks suci dan masih banyak lagi hal-hal yang sering diperdebatkan bahkan oleh satu garis aguron-guron, hal ini terjadi apabila yang dianggap sebagai pendiri atau yang dikultuskan telah meninggal, sehingga para murid, mengembangkan ajaran para guru dengan multitafsir. Penafsiran biasanya tentang tata cara persembahyangan, kepercayaan yang dipuja, astonomi (wariga) penentuan hari baik pelaksaan panca yajna, tata upacara khususnya bebantenan, pura yang disungsung serta permasalahan lainya. Hal ini terjadi karena tulisan baku yang disampikan oleh para guru tidak berbentuk catatan, dokumen, buku, melainkan disampaikan dengan lisan. Hasil pembelajaran ini kemudian ditafsirkan berbeda oleh para muridnya dan menjadi bahasa latah yang diwariskan sampai saat ini.
Peranan Parisada Hindu Dharma (PHDI) sebagai lembaga tafsir weda, sebenarnya sudah tepat, karena lembaga tinggi Agama Hindu ini telah disahkan dan berbadan hukum yang mengayomi dan melindungi serta memberikan tuntunan umat Hindu di Indonesia. Hampir setiap tahun PHDI pusat maupun daerah melaksanakan pertemuan dan rapat mengenai permasalahan penafsiran weda, namun yang menjadi permasalahan adalah sosialisasi terhadap penafsiran weda yang telah ditetapkan PHDI. Oleh karena itu PHDI Pusat maupun Daerah mesti bersinergi dalam membuat ketetapan terhadap tafsir weda dengan mengundang berbagai pemerintah, tokoh agama tokoh adat sebagai pelaksana di lapangan, selain itu para kelompok spiritual, pendiri asram, pendiri pasraman, organisasi Hindu, mahasiswa, akademisi dan komponen umat Hindu lainya, bersinergi membentuk kebulatan terhadap penafsiran weda. Hasil dari penafsiran ini adalah sosialisasi dengan memberikan catatan, selebaran ataupun buku yang dapat dijadikan pedoman bagi umat Hindu dalam kehidupan sehari-harinya.
PHDI dapat bekerjasama dengan komponen kampus, yang bidang keahlianya khusus seperti UNHI, IHDN dan sekolah tinggi Hindu maupun dengan kampus umum baik di Indonesia maupun dunia, tujuannya mengkaji penafsiran weda dengan kajian-kajian akademis, sehingga ajaran agama Hindu yang begitu agung relevan dipelajari dan diamalkan umat Hindu saat ini di Indonesia pada khususnya. Keberadaan PHDI pusat maupun daerah dapat membuka layanan informasi terhadap tafsir weda kepada umat, yang dilakukan melalui pelayanan di kantor PHDI (pusat, propinsi, kabupaten maupun desa/kelurahan) maupun membuka layanan online tafsir weda 24 jam, tentunya tafsir yang disampaikan sama dan lengkap dengan sumber sastranya, adakan evaluasi tiap tahun atas masukan-masukan umat terhadap tafsir weda, sehingga umat Hindu memiliki acuan yang jelas dalam penafsiran weda.
Penulis, mahasiswa Program Doktor IHDN Denpasar

Tidak ada komentar:

Posting Komentar