MEMAHAMI
TATWA DALAM YADNYA DI ERA MODERN
Oleh
:
Ni Kadek Martina
Om Swastyastu
Om Anobhadrah krtavoyanthu visvataha ; semoga pikiran
yang baik
datang dari segala penjuru
Umat Hindu
sedharma yang berbahagia, atas karunia Ida Sang Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang
Maha Esa kita diberikan kesempatan berkumpul ditempat ini dengan limpahan
kesehatan dan tidak kurang sesuatu apapun. Rasa bahagia yang tidak terkira
manakala pada kesempatan ini, saya bisa menyampaikan Dharma Wacana dengan topik “Memahami Tattwa Dalam Yadnya Di Era Modern”. Lebih
bahagianya lagi berada didepan umat sedharma yang begitu antusias mengikuti
dharmawacana ini dengan wajah yang berseri laksana teja sang surya yang
bersinar cemerlang, Tidak tampak oleh saya kesedihan yang tersirat menandakan para umat sedharma
dilimpahkan kebahagian.
Umat sedharma yang berbahagia, kata
yadnya seperti yang kita ketahui sudah lama populer, tetapi masih banyak umat
yang memberi arti sempit pada kata yadnya tersebut. Bagi umat yang masih awam
setiap mendengar kata yadnya dalam benaknya selalu terbayang bahwa di suatu
tempat ada berbagai jenis sesajen, asap dupa mengepul, bau bunga dan wangi
kemenyan yang semerbak, ada puja stawa
sulinggih atau pemangku, ada suara tabuh,
kidung, gambelan yang meriah dan
berbagai atraksi seni religious. Bayangan tersebut tidaklah salah, namun ada
kekeliruan anggapan kalau yadnya diidentikkan dengan kegiatan upacara
keagamaan, yang sesungguhnya pengertian yadnya tidak sesempit itu.
Kata yajnya sesungguhnya berasal dari
bahasa sanskerta.Yadnya secara
etimologi berasal dari akar kata Yaj artinya
: “korban”. Dengan demikian yadnya dapat
diartikan korban suci dengan tulus iklas. Pengorbanan dalam konteks ini cakupanya sangat luas dan bukan saja dalam bentuk
ritual, upakara tetapi dapat juga dipahami sebagai pengorbanan dalam bentuk
pikiran, tindakan dan yang lainya. Dalam kitab
Bhagavadgita IV.33 dinyatakan sebagai berikut:
Sreyaan dravyamayaad yadnyaaj.
Jnyanayadnyaah paramtapa.
Sarvam karmaa'khilam paartha.
Jnyaane parsamaapyate
(Bhagavad Gita IV.33)
Artinya:
Lebih utama persembahan dengan Jnyana Yadnya daripada persembahan materi dalam wujud apa pun. Sebab, segala pekerjaan apa pun seharusnya berdasarkan ilmu pengetahuan suci (Jnyana).
Jnyanayadnyaah paramtapa.
Sarvam karmaa'khilam paartha.
Jnyaane parsamaapyate
(Bhagavad Gita IV.33)
Artinya:
Lebih utama persembahan dengan Jnyana Yadnya daripada persembahan materi dalam wujud apa pun. Sebab, segala pekerjaan apa pun seharusnya berdasarkan ilmu pengetahuan suci (Jnyana).
Umat sedharma yang terkasih, dijaman
yang modern seperti sekarang ini yang mana kehidupan masyarakat yang serba
praktis pola hidup
masyarakat cendrung konsomtif (serba
instan) dan hedonisme. Masyarakat pada umumnya melakoni hidup dengan
rutinitas yang padat, terkadang sampai lupa waktu, terutama masyarakat yang hidup di kota-kota besar. Jika umat tidak
memahami tatwa yadnya yang sesungguhnya , sudah pasti umat akan beranggapan
bahwa beryadnya khuusnya di Hindu akan sangat memberatkan umat kerena penuh
dengan ritual upacara dengan berbagai sesajen atau banten yang begitu
banyak. Sesungguhnya jika umat memahami
tatwa atau esensi dari yadnya, maka umat akan dapat memahami kalau beryadnya
tidak hanya dengan ritual semata tetapi dapat pula dilakukan dengan
melaksanakan ajaran dharma. Jika segala sesuatu atau perbuatan yang kita
lakukan berdasarkan atas dharma dengan tulus ikhlas dapat disebut yadnya.
Dalam Bhagavadgita dikatakan belajar dan
mengajar yang didasari oleh keiklasan serta penuh pengabdian untuk memuja nama
Tuhan maka itu pun tergolong kedalam yadnya. Memelihara alam dan lingkungan
sekitar pun tergolong kedalam yadnya. Mengendalikan hawa nafsu dan panca
indra adalah yadnya. Selain itu menolong
orang sakit, mengentaskan kemiskinan, menghibur orang yang sedang tertimpa musibah
pun adalah yadnya. Jadi jelaslah yadnya itu bukan terbatas pada kegiatan
upacara keagamaan saja.
Umat sedharma yang berbahagia jika umat
telah memahami tatwa yadnya yang sesungguhnya maka umat tidak akan beranggapan
kalau yadnya yang setiap hari kita lakukan hanya berkutat dengan ritual upacara
semata yang penuh dengan sesajen. Hal tersebut terkadang dapat memberatkan umat
sehingga muncul anggapan kalau beryadnya
itu rumit dan terkesan ada unsur pemaksaan.
Sesungguhnya jika dipahami, Hindu itu merupakan Agama yang fleksibel. Hindu adalah “cara hidup” kata S Radhakrisnan. Dan, “Hindu disetiap aktifitasnya menunjukan
elastisitasnya (fleksibel) tidak kaku” ujar MK
Gandhi. Demikian juga “Hindu fleksibel tidak membunh budaya setempat dimana
Hindu itu berkembang, seperti ibarat bola karet yang mengelinding.
Menggelinding di pasir ia akan menjadi pasir, menggelinding dirumput ia akan menjadi rumput”. Ujar guru agung Svami
Vivekananda. Jadi ajaran Hindu tidak kaku, demikian juga kaitanya dalam
melakukan ritual yadnya Hindu tidak
mengharuskan beryadnya dengan kemegahan dan kemewahan serta
mengeluarkan uang banyak.
Umat sedharma yang
berbahagia, jika ditinjau dari tiga kerangka dasar Agama Hindu yaitu Tatwa,
Etika, dan Upakara atau Upacara, dimana kerangka ini merupakan cerminan dari
“Tri Angga Sarira” dari manusia diantaranya ada badan Atma yang bermanifestasi
sebagai “Mahat” dan tercermin sebagai
Tatwa. Kedua adalah badan Antakarana (jiwa) bermanifestasi sebagai “Budhi” dan tercermin sebagai perilaku
atau etika. Ketiga adalah adanya jasad tubuh “Panca Maha Butha” bermanifestasi
sebagai “Ahamkara” dan merupakan cerminan upakara atau upacara (bersifat
material). Sesungguhnya yadnya yang kita lalukan adalah cerminan dari diri
sendiri, dikatakan dalam Upanisad; sesungguhnya
tuhan berada dalam diri kita sendiri. Jika kita ingin memiliki atau
mempersembahkan yadnya yang berkualitas hendaknya kita mampu mengendalikan diri
sendiri terutama mengendalikan pikiran.
Manawa
Dharmasastra II.92 dikatakan bahwa ; “pikiran adalah indra yang kesebelas,
pikiran itu disebut rajendrya atau
raja-raja indria”. Jadi jika ingin yadnya yang kita persembahkan
berkualitas, maka kita harus dapat memahami bahwa sebenarnya Tuhan ada dalam
diri serta mampu untuk mengendalikan pikiran. Sebab pikiran merupakan penyebab
dari kehancuran.
Demikian untuk dipahami umat sedharma, beryadnya yang berkualitas
bukan diukur dari kemegahan dan besar kecilnya upacara.
Sesungguhnya kualitas dari yadnya tersebut berada dalam diri sendiri. Jika
sudah mampu untuk mengendalikan pikiran, tindakan dan nafsu dalam diri maka
apapun perbuatan yang kita lakukan adalah yadnya yang berkualitas. Umat sedharma
yang berbahagia sesungguhnya tatwa atau esensi dari yadnya yang kita lakukan
adalah bertolak ukur dari diri sendiri. Selain itu jika dikaitkan dengan
kehidupan dijaman yang modern ini tatwa yadnya itu sendiri, bilamana kita mampu
untuk mengendalikan pikiran dan tindakan serta dapat menolong orang yang sedang
kesusahan adalah besar yadnya tersebut. Harapan saya dari apa yang telah saya sampaikan
dapat bermanfaat bagi kita semua, jika kita menghargai ciptaan Tuhan maka
kita secara tidak langsung telah melakukan yadnya yang utama. Seperti dalam
Hindu dikatakan dalam konsep Tat Twam Asi,
aku adalah kamu yang artinya jika kita menyayangi dan memelihara ciptaan Tuhan
maka sama artinya kita mempersembahkan bhakti kepada-Nya. Jika ada kekurangan
dalam penyampaian dharma wacana ini saya mohon maaf. Karena tidak ada manusia
yang sempurna, tiada gading yang tak retak.
Akhir kata saya tutup dengan paramasantih.
Om Santih, Santih, Santih Om
Tidak ada komentar:
Posting Komentar