PHDI MESTI BERSINERGI SEBAGAI
LEMBAGA TAFSIR WEDA
Oleh
I
Made Adi Surya Pradnya
Syarat
diakui sebagai agama harus memiliki kitab suci, begitu pula Hindu kitab sucinya
weda, namun banyak umat Hindu tidak mengetahui bentuk weda secara utuh, karena pemahaman
teks-teks suci memang tidak dipelajari secara khusus, sehingga menjadi
multitafsir, asalkan sesuai logika maka kebenaran sloka, adhiaya ataupun ayat
yang terdapat dalam bagian weda dianggap kebenaran. Salah satu indikator kebenaran
agama adalah kitab suci. Apabila seseorang yang menekuni salah satu bentuk
pembelajaran ataupun mendapat pewahyuan kebenaran teks suci, memberikan
penafsiran atas teks suci yang dipercaya dengan dalil serta contoh yang telah
diimplementasikan di masyarakat, maka kebenaran itu menjadi dogma yang
dipercaya kuat oleh kelompok masyarakat tertentu.
Penyampaian
tafsir weda disebabkan adanya pengkultusan seseorang yang dianggap sebagai
penyelamat, guru dan pemberi anugrah, sehingga melahirkanlah
pemikiran-pemikiran weda yang multitafsir, terlebih penyampaian dilakukan pada
tempat yang dianggap spiritual atau mengkhusus, sehingga umat terdoktrin dengan
kebenaran yang disampaikan oleh para gurunya. Hal ini tentu mengarahkan
kelompok pada doktrin fanatik ekstrim, sehingga weda seharusnya menjadi pedoman
hidup manusia untuk kedamaian dan keharmonisan menjadi sekat-sekat pemisah yang
mengarah pada konflik internal maupun eksternal.
Permasalahan
akan timbul apabila masing-masing individu maupun kelompok yang berbeda
penafsiran teks suci bertemu bahkan diskusi tentang kebenaran agama yang mereka
anut, maka terjadi pemikiran individu yang dominan, resesif bahkan agresif
dalam mempertahankan doktrin teks suci yang sudah mereka yakini, akibatnya
ketidakpuasan maupun konflik yang akhirnya mengakar menjadi perseteruan mendarah
daging sampai pengikutnya saat ini. Salah satu pengalaman yang penulis pernah
ikuti saat para pengikut dalam satu kelompok (Hindu pemikiran weda murni) berdiskusi
dengan kelompok lain (Hindu pemikiran budaya Bali) terhadap penafsiran kitab
Bhagawadgita, IX: 26, yaitu
pattram,
puspam, phalam toyam
yo
me bhaktya prayacchati
tad aham
bhaktyupahrtam
asnami
prayatatmanah
artinya:
siapapun
yang mempersembahkan Aku sehelai daun, sekuntum bunga, buah dan air, dengan
hati yang tulus iklas akan Aku terima.
Setelah
diucapkan sloka bhagawadgita oleh kelompok (weda murni), kemudian diberikan
penafsiranya, yaitu beragama Hindu sangat sederhana cukup dengan daun, bunga,
buah dan air saja sudah diterima oleh Tuhan, terlebih lagi dengan hati yang
tulus iklas, maka sorga pun bisa diterima. Jadi buat apa membuat banten yang
besar-besar, bahkan menghabiskan dana yang besar dan di dalam teks bhagawadgita
jelas tidak disebutkan membuat lawar, sate, komoh dan sejenisnya untuk
dipersembahkan dan dimakan. Oleh karena itu kebiasaan yang berlebihan dalam
beragama harus segera dipangkas dan adat harus mengikuti teks suci dan kembali
pada weda murni.
Kelompok
Hindu yang berorientasi pada kultur Bali kemudian memberikan argument bahwa
Hindu adalah agama yang universal dan fleksibel bergerak layaknya bola salju
(snaw ball), berkembang sesuai kultur daerah yang dilintasinya, sehingga Hindu
tetap ajeg dan terus berkembang tanpa meninggalkan makna kehinduan. Begitu pula
dengan pemahaman teks suci bhagawadgita diatas oleh masyarakat Hindu di Bali
yang telah diwarisi para leluhur harus dilestarikan dan dikembangkan sebagai
kekayaan budaya Hindu. Begitu pula makanan yang nikmat adalah surudan Ida
Bhattara. Oleh karena itu apabila kita mempersembahkan lawar, sate, babi
guling, dan lain sebagainya, maka itulah yang kita nikmati, namun jika kelompok
anda hanya mempersembahkan sekuntum bunga, sehelai daun, seteguk air dan buah,
maka itulah yang anda nikmati. Jadi apabila ada persembahyangan bersama,
kelompok anda cukup menikmati persembahan itu dan kami puas dengan olahan
daging yang kami persembahkan dan kami tidak bisa membayangkan kelompok anda
memakan prasadam seperti itu. Hasil dari diskusi ini adalah konflik tanpa
menghasilkan sesuatu.
Alasan
media pendidikan ajaran Hindu melalui dharma wacana sulit untuk dikembangkan
dan dipelajari serta diamalkan umat Hindu, karena banyaknya penafsiran weda
yang digunakan oleh dharma pracaraka (pedharma wacana) untuk menyampaikan isi
dharma wacana, terlebih dharma wacana bertema banten, masing-masing dharma
pracaraka memiliki penafsiran berbeda-beda, sehingga adat istiadat yang menjadi
keseharian masyarakat Umat Hindu khususnya di Bali menjadi tambah rancu. Contoh
saja sebuah desa biasanya melaksanakan
banten saiban sehari-hari hanya di beberapa tempat (dapur, di pekarangan dan di
depan rumah), namun dengan adanya dharma wacana, hampir di setiap lubang yang
terdapat dirumah mesti dihaturkan termasuk pula pisau dan pekakas dapur di
berikan banten saiban. Hal ini dirasakan menyulitkan umat Hindu. Begitu pula
teologi di masing-masing merajan maupun sekitar pekarangan rumah berbeda-beda
penafsiran, contoh sanggah kemulan, yang berstana adalah tri murti, sang hyang
guru, kawitan dan lain sebagainya. Kesemuanya itu dicarikan dalam teks-teks
lontar yang di tafsirkan dari weda oleh para dharma pracaraka.
Hal
tersebut merupakan bagian terkecil dari perbedaan penafsiran, terhadap teks
suci dan masih banyak lagi hal-hal yang sering diperdebatkan bahkan oleh satu
garis aguron-guron, hal ini terjadi apabila yang dianggap sebagai pendiri atau
yang dikultuskan telah meninggal, sehingga para murid, mengembangkan ajaran
para guru dengan multitafsir. Penafsiran biasanya tentang tata cara
persembahyangan, kepercayaan yang dipuja, astonomi (wariga) penentuan hari baik
pelaksaan panca yajna, tata upacara khususnya bebantenan, pura yang disungsung
serta permasalahan lainya. Hal ini terjadi karena tulisan baku yang disampikan
oleh para guru tidak berbentuk catatan, dokumen, buku, melainkan disampaikan
dengan lisan. Hasil pembelajaran ini kemudian ditafsirkan berbeda oleh para
muridnya dan menjadi bahasa latah yang diwariskan sampai saat ini.
Peranan
Parisada Hindu Dharma (PHDI) sebagai lembaga tafsir weda, sebenarnya sudah
tepat, karena lembaga tinggi Agama Hindu ini telah disahkan dan berbadan hukum
yang mengayomi dan melindungi serta memberikan tuntunan umat Hindu di
Indonesia. Hampir setiap tahun PHDI pusat maupun daerah melaksanakan pertemuan
dan rapat mengenai permasalahan penafsiran weda, namun yang menjadi
permasalahan adalah sosialisasi terhadap penafsiran weda yang telah ditetapkan
PHDI. Oleh karena itu PHDI Pusat maupun Daerah mesti bersinergi dalam membuat
ketetapan terhadap tafsir weda dengan mengundang berbagai pemerintah, tokoh
agama tokoh adat sebagai pelaksana di lapangan, selain itu para kelompok spiritual,
pendiri asram, pendiri pasraman, organisasi Hindu, mahasiswa, akademisi dan
komponen umat Hindu lainya, bersinergi membentuk kebulatan terhadap penafsiran
weda. Hasil dari penafsiran ini adalah sosialisasi dengan memberikan catatan,
selebaran ataupun buku yang dapat dijadikan pedoman bagi umat Hindu dalam
kehidupan sehari-harinya.
PHDI
dapat bekerjasama dengan komponen kampus, yang bidang keahlianya khusus seperti
UNHI, IHDN dan sekolah tinggi Hindu maupun dengan kampus umum baik di Indonesia
maupun dunia, tujuannya mengkaji penafsiran weda dengan kajian-kajian akademis,
sehingga ajaran agama Hindu yang begitu agung relevan dipelajari dan diamalkan
umat Hindu saat ini di Indonesia pada khususnya. Keberadaan PHDI pusat maupun
daerah dapat membuka layanan informasi terhadap tafsir weda kepada umat, yang
dilakukan melalui pelayanan di kantor PHDI (pusat, propinsi, kabupaten maupun
desa/kelurahan) maupun membuka layanan online tafsir weda 24 jam, tentunya
tafsir yang disampaikan sama dan lengkap dengan sumber sastranya, adakan
evaluasi tiap tahun atas masukan-masukan umat terhadap tafsir weda, sehingga
umat Hindu memiliki acuan yang jelas dalam penafsiran weda.
Penulis, mahasiswa Program Doktor IHDN Denpasar
Tidak ada komentar:
Posting Komentar