DEWA YAMA DALAM PERSEPSI UMAT HINDU
Oleh
I MADE ADI SURYA PRADNYA
1.
Pendahuluan
Dewa Yama merupakan manifestasi dari Brahman yang bergelar sebagai Dewa akhirat, Hakim Agung yang mengadili roh orang mati, untuk
mempertimbangkan apakah suatu roh layak mendapat surga atau sebaliknya, mendapat neraka.
Dewa Yama dilukiskan sebagai seorang tua yang berkuasa di
singasana neraka, memiliki dua wajah yang tidak terlihat sekaligus. Wajah yang
sangar dan menyeramkan terlihat oleh roh orang-orang yang hidupnya penuh dengan
perbuatan salah, sedangkan wajah yang lembut dan berwibawa terlihat oleh
roh-roh yang hidupnya penuh dengan perbuatan baik.
Patung
Batara Yama dari Tibet
Yama
|
|
|
|
Dewa
kematian, dewa neraka
|
|
Dewanagari:
|
यम
|
Ejaan
Sanskerta:
|
Yama
|
Golongan:
|
|
Kediaman:
|
|
Senjata:
|
Danda
|
Pasangan:
|
Yami
atau Syamala
|
Wahana:
|
Kerbau
|
Yama (Sanskerta:
यम;
Yama) adalah dewa akhirat
dalam agama Hindu.
Menurut kepercayaan umat Hindu, dialah dewa yang pertama kali
dijumpai oleh roh orang mati saat berangkat menuju wilayah surgawi, sehingga
dia juga bergelar dewa kematian. Tugasnya yang utama adalah mengadili roh orang mati, dengan
didampingi oleh asistennya yang disebut Citragupta, pencatat karma manusia. Karena
keadilannya, ia disebut pula Dharmaraja.
Yama memiliki wahana berupa seekor kerbau betina. Ia bersenjata gada atau danda dan membawa jerat.
Dia memiliki dua anjing mengerikan bermata empat yang bertugas menjaga jalan
yang dilewati roh orang mati menuju alam Yama.
2. Mitologi Dewa Yama
Menurut kitab Purana, Yama adalah putra Surya (dewa matahari) dan Saranya
(putri Wiswakarma). Dia memiliki
kakak bernama Waiwaswata Manu, dan saudara kembar perempuan
bernama Yamuna.
Selain itu, ia memiliki ibu tiri bernama Radnyi, Praba, dan Caya. Karena Caya
lebih memperhatikan anak kandungnya sendiri daripada anak tirinya, Yama
menendang kakinya. Hal itu membuatnya dikutuk bahwa kakinya akan digerogoti
oleh cacing. Cacing-cacing tersebut juga akan menyebabkan kakinya bernanah dan
berdarah.
Untuk mengurangi kutukan tersebut, Surya memberikan seekor
burung kepada Yama untuk memakan cacing-cacing tersebut. Kemudian Yama
memutuskan untuk pergi ke sebuah tempat suci yang bernama Gokarna. Disana ia memuja Siwa dengan cara bertapa
selama ribuan tahun. Siwa berkenan dengan tapa yang dilakukan Yama, lalu ia
diangkat sebagai dewa kematian. Ia diberi hak untuk menjatuhkan hukuman kepada
orang-orang yang melakukan dosa, dan memberikan berkah kepada orang-orang yang
berbuat kebajikan.
3.
Manifestasi Tuhan sebagai Dewa Akhirat
Bhatara
Yama adalah nama Dewa penjaga neraka
dalam agama Hindu
dan Buddha. Namanya sudah disebut dalam
kitab Weda. Dalam ajaran Agama Hindu, Dewa Yama merupakan
manifestasi dari Brahman yang
bergelar sebagai Dewa akhirat, Hakim
Agung yang mengadili roh orang mati, untuk mempertimbangkan apakah suatu roh
layak mendapat surga atau sebaliknya, mendapat neraka.
Dewa Yama
dilukiskan sebagai seorang tua yang berkuasa di singgasana neraka, memiliki dua
wajah yang tidak terlihat sekaligus. Wajah yang sangar dan menyeramkan terlihat
oleh roh orang-orang yang hidupnya penuh dengan perbuatan salah, sedangkan
wajah yang lembut dan berwibawa terlihat oleh roh-roh yang hidupnya penuh
dengan perbuatan baik.
“Karma
phala ika palaing gawe hala ayu“
Segala gerak atau aktivitas yang dilakukan, disengaja atau
tidak, baik atau buruk, benar atau salah, disadari atau di luar kesadaran,
kesemuanya itu disebut “Karma“. Ditinjau dari segi ethimologinya, kata karma berasal dari kata “Kr” (bahasa sansekerta), yang artinya
bergerak atau berbuat. Menurut Hukum Sebab Akibat, maka segala sebab pasti akan
membuat akibat.
Demikianlah sebab dari suatu gerak atau perbuatan akan
menimbulkan akibat, buah, hasil atau pahala. Hukum sebab akibat inilah yang
disebut dengan Hukum Karma Phala. Di dalam Weda disebutkan “Karma phala ika
palaing gawe hala ayu“, artinya karma phala adalah akibat phala dari baik
buruk suatu perbuatan atau karma (Clokantra, 68).
Hukum karma ini sesungguhnya sangat berpengaruh terhadap baik
buruknya segala makhluk sesuai dengan perbuatan baik dan perbuatan buruknya
yang dilakukan semasa hidup. Hukum karma dapat menentukan seseorang itu hidup
bahagia atau menderita lahir bathin. Jadi setiap orang berbuat baik (subha
karma), pasti akan menerima hasil dari perbuatan baiknya itu. Demikian
pula sebaliknya, setiap yang berbuat buruk, maka keburukan itu sendiri tidak
bisa terelakkan dan pasti akan diterima.
Phala atau hasil dari perbuatan itu tidak selalu langsung dapat
dirasakan atau dinikmati. Tangan yang menyentuh es akan seketika dingin, namun
menanam padi harus menunggu berbulan-bulan untuk bisa memetik hasilnya. Setiap
perbuatan akan meninggalkan bekas, ada bekas yang nyata, ada bekas dalam angan
dan ada yang abstrak. Oleh karena itu hasil perbuatan yang tidak sempat
dinikmati pada saat berbuat atau pada kehidupan sekarang maka akan ia terima
setelah di akherat kelak dan ada kalanya pula akan dinikmati pada kehidupan
yang akan datang.
Dengan demikian karma phala dapat digolongkan menjadi 3 macam
sesuai dengan saat dan kesempatan dalam menerima hasilnya, yaitu Sancita
Karma Phala, Prarabda Karma Phala, dan Kriyamana Karma Phala.
1.
Sancita Karma Phala: Hasil perbuatan kita dalam
kehidupan terdahulu yang belum habis dinikmati dan masih merupakan benih yang
menentukan kehidupan kita yang sekarang.
2.
Prarabda Karma Phala: Hasil perbuatan kita pada
kehidupan ini tanpa ada sisanya lagi
3.
Kriyamana Karma Phala: Hasil perbuatan yang tidak
sempat dinikmati pada saat berbuat, sehingga harus diterima pada kehidupan yang
akan datang.
Jadi adanya penderitaan dalam kehidupan ini walaupun
seseorang selalu berbuat baik, hal itu disebabkan oleh karmanya yang lalu
(sancita karma), terutama yang buruk yang harus ia nikmati hasilnya sekarang,
karena pada kelahirannya terdahulu belum habis diterimanya. Sebaliknya
seseorang yang berbuat buruk pada kehidupannya sekarang dan nampaknya ia hidup
bahagia, hal itu disebabkan karena sancita karmanya yang dahulu baik, namun
nantinya ia juga harus menerima hasil perbuatannya yang buruk yang ia lakukan
pada masa kehidupannya sekarang ini.
Tegasnya, cepat atau lambat, dalam kehidupan sekarang atau
nanti, segala hasil perbuatan itu pasti akan diterima, karena hal itu sudah
merupakan hukum perbuatan. Di dalam Weda (Wrhaspati Tatwa, 3), dinyatakan sebagai berikut: “Wasana
artinya semua perbuatan yang telah dilakukan di dunia ini. Orang akan mengecap
akibat perbuatannya di alam lain, pada kelahiran nanti; apakah akibat itu baik
atau yang buruk. Apa saja perbuatan yang dilakukannya, pada akhirnya kesemuanya
itu akan menghasilkan buah. Hal ini adalah seperti periuk yang diisikan
kemenyan, walaupun kemenyannya sudah habis dan periuknya dicuci bersih-bersih
namun tetap saja masih ada bau, bau kemenyan yang melekat pada periuk itu.
Inilah yang disebut wasana. Seperti juga halnya dengan karma wasana. Ia ada
pada Atman. Ia melekat pada-Nya. Ia mewarnai Atman.”
Ada penyakit tentu ada penyebabnya, demikian pula penderitaan
itu, pasti ada sebab musababnya. Tetapi kita harus yakin bahwa penyakit atau
penderita tersebut pasti dapat diatasi. Seseorang tidak bisa menghindari hasil
perbuatannya, apakah baik ataupun buruk, sehingga seseorang tidak boleh iri
jika melihat orang lain hidupnya bahagia atau lebih baik. Demikian pula sebaliknya,
seseorang tidak perlu menyesali nasibnya, karena apa yang ia terima merupakan
tanggung jawabnya. Ini harus disadari, penderitaan di saat ini adalah akibat
dari perbuatan kita sendiri, baik yang sekarang maupun yang telah lampau. Namun
kita harus sadar pula, suatu saat penderitaan itu akan berakhir asal kita
selalu berusaha untuk berbuat baik. Perbuatan baik yang dilakukan saat ini akan
memberikan kebahagiaan baik sekarang maupun pada masa yang akan datang.
Jelasnya dengan itu seseorang tidak perlu sedih atau
menyesali orang lain karena mengalami penderitaan dan tidak perlu sombong
karena mengalami kebahagiaan, karena hal itu adalah hasil karma. Satu hal yang
perlu diingat, hukum karma phala itu tidak terlepas dari kekuasaan Hyang Widhi
(Tuhan Yang Maha Esa). Hyang Widhilah yang menentukan phala dari karma
seseorang. Beliaulah yang memberi ganjaran sesuai dengan Hukum Karma.
4.
Dewanya Keadilan
“Asing
sagawenya dadi manusa, ya ta mingetaken de Bhetara Widhi, apan sira pinaka
paracaya Bhatara ring cubhacubha karmaning janma”. (Wrhaspati
Tattwa, 22)
Terjemahan:
Segala (apa) yang
diperbuat di dalam penjelmaan menjadi manusia, (semua) itulah yang dicatat oleh
Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa), karena Dia sebagai saksi (dari) baik buruk
(amal-dosa) perbuatan manusia.
“Bhatara Dharma ngaran ira
Bhatara Yama sang kumayatnaken cubhacubha prawrti sekala janma”. (Agastya
Parwa, 355.15)
Terjemahan:
Bhatara Dharma
(juga) bergelar Bhatara Yama (sebagai Dewa Keadilan), adalah pelindung keadilan
yang mengamat-amati (mengadili) baik buruk perbuatan manusia. Baik buruk dari
(karma) itu akan memberi akibat yang besar terhadap kebahagiaan atau
penderitaan hidup manusia.
Jadi segala baik dan buruk suatu perbuatan akan membawa
akibat tidak saja di dalam hidup sekarang ini, tetapi juga setelah di akhirat
kelak, yakni setelah Atma dengan suksma sarira (alam pikiran) terpisah dari
badan (tubuh) dan akan membawa akibat pula dalam penjelmaan yang akan datang,
yaitu setelah atman dengan suksma sarira memasuki badan atau wadah yang baru.
Hyang Widhi (Tuhan Yang Maha Esa) akan menghukum atman (roh) yang berbuat dosa
dan merahmati atman (roh) seseorang yang berbuat kebajikan. Hukuman dan rahmat
yang dijatuhkan Hyang Widhi ini bersendikan pada keadilan.
Pengaruh hukum ini pulalah yang menentukan corak serta nilai
daripada watak manusia. Hal ini menimbulkan adanya bermacam-macam ragam watak
manusia di dunia ini. Terlebih-lebih hukuman kepada Atman (roh) yang selalu
melakukan dosa semasa penjelmaannya, maka derajatnya akan semakin bertambah
merosot. Hal ini disebutkan dalam Weda sebagai berikut:
“Dewanam narakam janturjantunam
narakam pacuh, Pucunam narakam nrgo mrganam narakam khagah, Paksinam narakam
vyalo vyanam narakam damstri, Damstrinam narakam visi visinam naramarane.”
(Clokantara 40.13-14)
Terjemahanya:
Dewa neraka
(menjelma) menjadi manusia. Manusia neraka (menjelma) menjadi ternak. Ternak menjadi binatang buas, binatang
buas neraka menjadi burung, burung neraka menjadi ular, dan ular neraka menjadi
taring. (serta taring) yang jahat menjadi bisa (yakni) bisa yang dapat
membahayakan manusia.
Demikianlah kenerakaan yang dialami Atman (roh) yang selalu
berbuat jahat (dosa) semasa penjelmaannya di dunia. Jika penjelmaan itu telah
sampai pada limit yang terhina akibat dosanya, maka ia tetap akan menjadi dasar
terbawah dari kawah neraka.
Roh yang berada di kawah neraka
5.
Yama Dalam
Asta Brata
Sebuah Sastra Weda yang telah digubah dengan bentuk
Kakawin/Kakawin Ramayana Bab I Sloka 3 menyebutkan :
Gunamanta Sang Dasaratha, Wruh
Sira ring Weda, Bhakti ring Dewa Tan Marlupeng pitra puja, masih ta sireng
swagotra kabeh.
Maksudnya :
Bahwa Raja Dasaratha
adalah seorang pemimpin yang memahami pengetahuan suci Weda, taat beragama,
Bhakti kepada Tuhan dan tidak melupakan leluhur/pendahulu-pendahulunya serta
adil dan mengasihi seluruh rakyatnya.
Raja berputrakan Sri Rama ini adalah seorang pemimpin yang
patut dijadikan panutan. Artinya seorang pemimpin harus menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi,
agama, taat kepada Tuhan, hormat kepada para pahlawan dan
pendahulu-pendahulunya, adil serta sayang kepada rakyatnya. Adapun ajaran yang diberikan tentang kepemimpinan
adalah Asta Brata.
Asta Brata artinya delapan ajaran utama tentang kepemimpinan
yang merupakan petunjuk Sri Rama kepada Bharata (adiknya) yang akan dinobatkan
menjadi Raja Ayodhya. Asta Brata disimbulkan dengan sifat-sifat mulia dari alam
semesta yang patut dijadikan pedoman bagi setiap pemimpin, yaitu :
1.
Indra Brata
Seorang pemimpin
hendaknya seperti hujan yaitu senantiasa mengusahakan kemakmuran bagi rakyatnya
dan dalam setiap tindakannya dapat membawa kesejukan dan penuh kewibawaan.
2.
Yama Brata
Pemimpin hendaknya
meneladani sifat-sifat Dewa Yama, yaitu berani menegakkan keadilan menurut
hukum atau peraturan yang berlaku demi mengayomi masyarakat.
3.
Surya Brata
Pemimpin hendaknya
memiliki sifat-sifat seperti Matahari (surya) yang mampu memberikan semangat
dan kekuatan pada kehidupan yang penuh dinamika dan sebagai sumber energi.
4.
Candra Brata
Pemimpin hendaknya
memiliki sifat-sifat seperti bulan yaitu mampu memberikan penerangan bagi
rakyatnya yang berada dalam kegelapan/kebodohan dengan menampilkan wajah yang
penuh kesejukan dan penuh simpati sehingga masyarakatnya merasa tentram dan
hidup nyaman.
5.
Vayu Brata (maruta)
Pemimpin hendaknya
ibarat angin, senantiasa berada di tengah-tengah masyarakatnya, memberikan
kesegaran dan selalu turun ke bawah untuk mengenal denyut kehidupan masyarakat
yang dipimpinnya.
6.
Bhumi (Danada)
Pemimpin hendaknya
memiliki sifat-sifat utama dari bumi yaitu teguh, menjadi landasan berpijak dan
memberi segala yang dimiliki untuk kesejahteraan masyarakatnya.
7.
Varuna Brata
Pemimpin hendaknya bersifat
seperti samudra yaitu memiliki wawasan yang luas, mampu mengatasi setiap
gejolak (riak) dengan baik, penuh kearifan dan kebijaksanaan.
8.
Agni Brata
Pemimpin hendaknya
memiliki sifat mulia dari api yaitu mendorong masyarakat untuk berpartisipasi
dalam pembangunan, tetap teguh dan tegak dalam prinsip dan
menindak/menghanguskan yang bersalah tanpa pilih kasih.
Implementasi Yama Brata
dalam Asta Brata adalah sangat tepat jika diterapkan sekarang oleh pemerintah
tentunya oleh penegak hukum, khususnya di Indonesia. Karena peranan pemerintah
tidak mementingkan keberadaan masyarakat kecil melainkan mementingkan kehidupan
pribadi dan kelompok, terbukti dengan banyaknya bupati, walikota, gubernur dan
pejabat tinggi Negara melakukan korupsi pada instansinya.
Begitu kronisnya
penyakit korupsi di Indonesia digambarkan oleh Prof. Dr. H. Syafe'i Ma'arif (,
akibat korupsi yang semakin merajalela kini bangsa Indonesia dalam kondisi yang
sangat menyedihkan. Departemen Agama RI yang seharusnya mengurusi pembangunan
mental (hati) bangsa adalah salah satu departemen terkorup di negeri ini.
Kemudian Departemen Pendidikan RI yang seharusnya mengurusi usaha mencerdaskan
bangsa juga merupakan salah satu departemen terkorup. Demikian juga Departemen
Kesehatan RI yang seharusnya mengurusi kesehatan secara fisik Bangsa Indonesia
juga salah satu Departemen Terkorup di negeri ini (http://research.amikom.ac.id/index.php/SSI/article/
view/6620).
Berdasarkan hal
tersebut, perlu ketegasan seorang pemimpin bangsa ini, begitu pula penegak
hokum sehingga memberikan efek jera bagi pelanggar hokum khususnya kasus
korupsi ini. Sudah saatnya pula teori kepemimpinan Hindu seperti Yama Brata ini
diterapkan dan ditegakan untuk menciptakan keamanan, kedamaian dan
kesejahteraan bangsa ini.
6.
Dewa Yama Dalam
Katha Upanisad
Katha Upanishad mulai
dengan satu kisah. Sekali peristiwa adalah seorang terpelajar bernama Vajasrabasa yang sedang mengorbankan
segala yang dimiliknya, (seekor kerbau tua, pen) dengan harapan untuk mendapat
anugrah suci (surga,pen). Di tengah-tengah upacara korban itu, salah satu dari
putranya, Nachiketa, memohon kepada ayahnya untuk mempersembahkan dirinya
kepada Dewa Kematian, Yama. Akhirnya ayahnya mengorbankan putra yang
dicintainya itu kepada Yama. Ketika anak ini mencapai kediaman Yama, Dewa
Kematian itu bingung dengan tindakan Nachiketa dan memintanya kembali kepada
ayahnya. Percakapan teologis yang hidup antara Nachiketa dengan Yama (dialog
manusia dengan kematian) adalah merupakan isi dari Katha Upanishad. Yama
menjelaskan rahasia-rahasia tertinggi dari alam semesta dan hakikat dari
Brahman (Tuhan) dalam Upanishad yang indah ini.
7.
Dewa Yama Dalam Mahabharata
Akibat kesalahan Yudhisthira yang menerima tantangan Sengkuni
untuk berjudi, Pandawa terpaksa harus mengasingkan diri ke Hutan Kamyaka selama
12 tahun dan 1 tahun panyamaran di Kerajaan Matsya. Selama 12 tahun pengasingan
di Hutan Kamyaka para pandawa banyak mengalami kejadian unik salah satunya
adalah pengalaman Pandawa di Telaga Ajaib yang hampir menewaskan seluruh
Pandawa.
Tahun pengasingan keduabelas bagi Pandawa kini sedang
mendekati akhirnya. Pandawa kini sedang sibuk berpikir serius untuk mencari
jalan keluar bagaimana cara mereka akan melakukan pengasingan di tahun
ketigabelas tanpa harus dketahui oleh siapapun. Dalam kesibukannya memikirkan
hal tersebut, suatu hari datanglah seorang brahmana tua meminta bantuan pada
mereka karena seekor menjangan telah melarikan tempat api pemujaannya.
Kejadian itu bermula ketika seekor menjangan datang ke dekat
pedupaan di tempat api pemujaan. Mungkin karena gatal atau karena kedinginan ia
menggosokan badannya di sana. Ketika brahmana datang untuk menghalaunya,
menjangan itu kaget sehingga pedupaan tersangkut di tanduk menjangan dan dibawa
lari.
“Ya Tuhan, menjangan itu telah membawa lari pedupaanku.
Bagaimana aku bisa melakukan upacara persembahyangan sehari-hari? Wahai
Pandawa, tolonglah aku yang tidak dapat mengejar menjangan itu”, demikian
permintaan brahmana tersebut pada Yudhisthira.
Pandawa kemudian memburu menjangan itu beramai-ramai dari
berbagai penjuru, tapi rupanya manjangan itu bukan sembarang menjanga. Ia terus
berlari, dan tanpa disadari Pandawa ternyata telah terbawa masuk jauh ke dalam
hutan. Menjangan itu hilang ditelan rimba raya. Pandawa yang merasa lelah, terpaksa
berhenti di bawah sebatang pohon beringin yang amat rindang. Nakula mengeluh, “Alangkah merosotnya keadaan
kita sekarang. Menolong brahmana dalam kesulitan sekecil ini saja kita tidak
mampu, apalagi yang lebih besar”.
“Benar
demikian. Ketika Drupadi diseret ke persidangan, seharusnya kita bunuh manusia
kurang aja itu (maksudnya adalah Dursasana)! Tapi apa? Kita tidak berbuat
apa-apa. Dan sekarang, inilah akibatnya”, kata Bhima sambil memandang Arjuna.
Dengan
sikap mengiyakan, Arjuna berkata, “Ya benar, aku juga tidak berbuat apa-apa
ketika dihina oleh anak kereta kuda itu (maksudnya adalah Karna). Inilah
upahnya sekarang!” Yudisthira menyadari kesedihan yang meliputi hati
saudara-saudaranya dan melihat wajah-wajah mereka yang nampak kehilangan kegembiraan
dan merosotnya semangat juang mereka. Untuk mengalihkan pikiran, ia berkata
pada Nakula, “Adikku, cobalah engkau naik pohon, dan lihat, barangkali di
dekat-dekat sini ada sungai atau telaga. Aku merasa sangat haus”.
Nakula
kemudian naik ke pohon tinggi, dan setelah melihat sekeliling, dari atas ia
berkata, “Di kejauhan kulihat ada tanda-tanda air dan beberapa ekor burung
bangau. Di sana pasti ada air!”.
Yudhisthira menyuruhnya turun dan pergi untuk mengambil air.
Nakula lantas pergi dan memang menemukan sebuah telaga. Karena ia sendiri juga
sangat haus, ia berpikir untuk minum dulu sebelum membawakan air untuk
saudara-saudaranya. Baru saja ia hendak memasukan tangannya ke dalam air,
tiba-tiba terdengar suara, “Janganlah engkau tergesa-gesa. Telaga ini milikku,
hai anak Madri Dewi. Jawablah pertanyaanku terlebih dahulu pertanyaanku, Jika
kau bisa menjawab, barulah kau boleh minum”.
Nakula sangat terkejut mendengar suara itu, tetapi karena
saking hausnya, ia tidak memperdulikannya dengan niat menjawab pertanyan itu
setelah minum. Ia langsung mencelupkan tangannya, mengambil air dan meminumnya.
Seketika itu juga ia jatuh tidak sadarkan diri. Setelah lama menunggu dan
Nakula belum juga kembali, Yudhisthira yang gelisah kemudian menyuruh Sadewa
mencari tahu apa sebab Nakula belum kembali. Setelah mencari-cari beberapa
lama, Sadewa terkejut melihat Nakula yang terbaring tak sadarkan diri di tepi
telaga. Tetapi karena merasa sangat haus, ia memutuskan untuk minum dulu.
Tiba-tiba suara tadi terdengar lagi, “Wahai Sadewa, telaga ini telagaku. Jawab
dulu pertanyaanku, baru engkau boleh menghilangkan dahagamu”. Sadewa tidak
peduli dan langsung meminum air telaga itu. Sesaat setelah ia minum, saat itu
pula ia tersungkur tidak sadarkan diri.
Bingung memikirkan kedua saudaranya yang belum kembali,
Yudhisthira menyuruh Arjuna mencari Nakula dan Sadewa. “Tetapi jangan lupa
untuk kembali membawa air”, ia mengakhiri katanya kepada Arjuna, karena kini ia
betul-betul merasa haus. Arjuna pergi berlari dan menemukan kedua saudaranya
terbaring tak sadarkan diri. Ia sangat terkejut dan mengira mereka tewas
dianiaya musuh. Ia marah dan ingin membalas dendam, menghancurkan siapapun yang
telah membunuh saudara-saudaranya. Sambil merencanakan pembalasan dendam itu,
Arjuna ingin minum terlebih dahulu. Tapi lagi-lagi suara tadi terdengar lagi,
“Jawab dulu pertanyaanku, sebelum engkau minum air telaga ini. Telaga ini
punyaku. Kalau engkau tidak mau menurut, engkau akan mengalami nasib yang sama
dengan kedua saudaramu”.
Arjuna sangat marah mendengar suara itu dan berteriak, “Hai,
siapa engkau? Ayo muncul di hadapanku! Kubunuh kau!”. Sambil berkata demikian,
Arjuna membidikan panahnya ke arah datangnya suara itu. Suara itu tertawa
mengejek, “Panahmu hanya akan melukai angin. Jawab pertanyaanku dulu, baru kau
boleh memuaskan dahagamu. Bila engkau minum tanpa menjawab pertanyaanku, engkau
akan tewas”. Arjuna girang karena bisa berhadapan dengan pembunuh adik-adiknya,
tapi sebelum itu ia ingin minum dulu. Apa lacur, setelah minum ia pun rebah ke
tanah tidak sadarkan diri.
Setelah lama menunggu dan Arjuna belum juga kembali,
Yudhisthira lantas berkata, “Bhimasena saudaraku, Arjuna pahlawan kita belum
juga datang. Sesuatu yang aneh mungkin terjadi. Peruntungan bintang-bintang
kita hari ini memang terlihat kurang baik. Carilah mereka dan bawakan air
untukku. Aku haus sekali”.
Begitu mendapat perintah dari Yudhisthira, Bhima segera
berangkat. Sampai di tepi telaga, bukan main sedih hatinya melihat ketiga
saudaranya terbaring tidak berkutik. “Ini pasti perbuatan para jin dan raksasa
jahat”, pikirnya. “Akan kumusnahkan mereka ! Tetapi aku sangat haus. Setelah
minum, akan kutamatkan pembunuh itu”. Lalu ia turun ke tepi telaga. Suara aneh
itu terdengar kembali, “Hati-hatilah, hai Bhimasena. Engkau boleh minum setelah
menjawab pertanyaanku. Kamu akan tewas jika tidak mau mendengar kata-kataku”.
Mendengar itu Bhima berteriak, “Siapa engkau? Berani benar memerintah aku!”.
Lalu ia minum air telaga itu. Seketika itu juga otot dan tulang Bhima yang liat
bagai kawat baja dan keras bagai besi perkasa menjadi lemas, dan ia pun seperti
sudara-saudaranya, jatuh terbaring tidak sadarkan diri.
Yudhisthira menunggu dengan cemas. Dahaganya serasa tak
tertahankan. Terbayang dalam pikirannya, “Apakah mungkin mereka terkena
kutukan? Apakah mereka lenyap ditelan rimba dan tak tahu jalan kembali? Apakah
mereka tewas karena kehausan?”. Kemudian Yudhisthira bangkit tak habis pikir
dan berjalan mengikuti jejak-jejak kaki saudara-saudaranya. Ia memperhatikan
setiap semak yang dilaluinya dengan teliti. Ia melihat jejak kijang dan babi
hutan, semuanya menuju arah yang sama. Burung-burung bangau dan sebangsanya
mulai kelihatan, pertanda adanya air di dekat situ.
Setelah berjalan beberapa lama, ia sampai ke lapangan rumput
hijau terbuka. Di depannya terbentang telaga. Airnya berkilau jernih bagaikan
cermin muka yang indah cemerlang. Dan disanalah diketemuinya keempat saudaranya
terbaring dingin, tidak bergerak lagi. Dihampirinya satu persatu, dirabanya
kaki, tangan, dahi dan denyut jantung mereka. Yudhisthira berkata dalam hati,
“Apakah ini berarti akhir dari sumpah yang harus kita jalani? Hanya beberapa
hari sebelum berakhirnya masa pengasingan kita, kalian mati mendahului aku.
Rupanya para dewata telah meninggalkan kita dari kesengsaraan ini”.
Menatap wajah Nakula dan Sadewa, yang di tadinya merupakan
pemuda lincah perkasa, kini lemas, dingin terbaring tidak bergerak, hatinya
berkata lagi, “Apakah hatiku harus terbuat dari baja agar aku tidak menangisi
kematian saudara-saudaraku? Apakah hidupku masih ada gunanya setelah keempat
saudaraku mati? Untuk apa aku hidup? Aku yakin ini bukan peristiwa biasa”,
pikir Yudhisthira. Ia tahu, tak seorang ksatriapun akan mampu membunuh Bhima
dan Arjuna tanpa melewati pertarungan hebat. “Tak ada luka di badan mereka.
Wajah mereka tidak seperti wajah orang kesakitan. Mereka kelihatan tenang,
seperti sedang tidur dalam damai”. Hatinya terus bertanya-tanya. “Sama sekali
tak ada jejak kaki, apalagi bekas tanah atau rumput yang terinjak-injak dalam
perkelahian. Ini pasti peristiwa gaib. Mungkinkah ini tipu muslihat Duryodhana
? Mungkinkah Duryodhana telah meracuni air telaga ini ?”.
Dengan berbagai pikiran di kepalanya, perlahan-lahan ia turun
ke tepi telaga. Ia ingin melepaskan dahaganya yang sudah tak tertahankan lagi.
Tiba-tiba suara gaib itu terdengar lagi, “Saudara-saudaramu telah mati karena
tak menghiraukan kata-kataku. Jangan engkau ikuti mereka. Jawab dulu
pertanyaanku, setelah itu baru puaskan hausmu. Telaga ini milikku”. Yudhisthira
yakin, suara itulah yang menyebabkan saudara-saudaranya mati. Ia berpikir,
mencari cara untuk mengatasi situasi itu. Kemudian Yudhisthira berkata kepada
suara yang tidak berwujud itu, “Silahkan ajukan pertanyanmu” dan suara gaib itu
mulai mengajukan pertanyaan kepada Yudhisthira.
Suara
Gaib : “Apa yang menyebabkan matahari bersinar setiap hari?”
Yudhisthira : “Kekuatan Brahman”
Yudhisthira : “Kekuatan Brahman”
Suara
Gaib : “Apa yang dapat menolong manusia dari semua marabahaya?
Yudhisthira : “Keberanian adalah pembebas manusia dari marabahaya”
Yudhisthira : “Keberanian adalah pembebas manusia dari marabahaya”
Suara
Gaib : “Dengan jalan mempelajari ilmu apakah manusia menjadi bijaksana?”
Yudhisthira : “Bukan dengan jalan mempelajari kitab suci orang menjadi bijaksana, tapi dengan jalan bergaul dan bersatu dengan cendikiawan besar ia menjadi bijaksana”
Yudhisthira : “Bukan dengan jalan mempelajari kitab suci orang menjadi bijaksana, tapi dengan jalan bergaul dan bersatu dengan cendikiawan besar ia menjadi bijaksana”
Suara
Gaib : “Apa yang lebih mulia dan lebih menghidupi manusia daripada bumi
ini ?”
Yudhisthira : “Ibu, yang melahirkan dan membesarkan anak-anaknya, lebih mulia dan lebih menghidupi daripada bumi ini”.
Yudhisthira : “Ibu, yang melahirkan dan membesarkan anak-anaknya, lebih mulia dan lebih menghidupi daripada bumi ini”.
Suara
Gaib : “Apa yang lebih tinggi dari langit ?”
Yudhisthira : “Bapa”
Yudhisthira : “Bapa”
Suara
Gaib : “Apa yang lebih kencang dari angin ?”
Yudhisthira : “Pikiran”
Yudhisthira : “Pikiran”
Suara
Gaib : “Apa yang lebih berbahaya dari jerami kering di musim panas ?”
Yudhisthira : “Hati yang menderita duka dan menyimpan dendam”
Yudhisthira : “Hati yang menderita duka dan menyimpan dendam”
Suara
Gaib: “Apa yang menjadi teman seorang pengembara?”
Yudhisthira : “Kemauan belajar”
Yudhisthira : “Kemauan belajar”
Suara
Gaib : “Siapakah teman seseorang yang tinggal di rumah?”
Yudhisthira : “Istri”
Yudhisthira : “Istri”
Suara
Gaib : “Siapakah yang menemani manusia dalam kematian”
Yudhisthira : “Dharma, hanya dharma yang menemani jiwa dalam kesunyian perjalanan setelah kematian”
Yudhisthira : “Dharma, hanya dharma yang menemani jiwa dalam kesunyian perjalanan setelah kematian”
Suara
Gaib : “Perahu apa yang terbesar?”
Yudhisthira : “Bumi ini, yang mengandung segala sesuatu yang ada padanya, adalah perahu yang terbesar”
Yudhisthira : “Bumi ini, yang mengandung segala sesuatu yang ada padanya, adalah perahu yang terbesar”
Suara
Gaib : “Apakah kebahagiaan itu ?”
Yudhisthira : “Kebahagiaan adalah buah dari tingkah laku dan perbuatan baik”
Yudhisthira : “Kebahagiaan adalah buah dari tingkah laku dan perbuatan baik”
Suara
Gaib : “Apakah itu, jika orang meninggalkannya ia dicintai oleh sesamanya
?”
Yudhisthira : “Keangkuhan. Dengan meninggalkan keangkuhan orang akan dicintai sesamanya”
Yudhisthira : “Keangkuhan. Dengan meninggalkan keangkuhan orang akan dicintai sesamanya”
Suara
Gaib : “Kehilangan apakah yang menyebabkan orang bahagia dan tidak sedih
?”
Yudhisthira : “Amarah. Kehilangan amarah membuat kita tidak lagi diburu oleh kesedihan”
Yudhisthira : “Amarah. Kehilangan amarah membuat kita tidak lagi diburu oleh kesedihan”
Suara
Gaib : “Apakah itu, jika orang membuangnya jauh-jauh, ia menjadi kaya ?”
Yudhisthira : “Hawa nafsu. Dengan membuang hawa nafsu orang menjadi kaya”
Yudhisthira : “Hawa nafsu. Dengan membuang hawa nafsu orang menjadi kaya”
Suara
Gaib: “Apakah yang membuat seseorang benar-benar menjadi brahmana?
Kelahiran, kelakuan baik, atau pendidikan yang sempurna? Jawab dengan tegas!”
Yudhisthira :“Kelahiran dan pendidikan baik tidak membuat seseorang menjadi brahmana, hanya kelakuan baik yang membuat seseorang benar-benar menjadi brahmana. Sepandai apapun seseorang jika ia masih diperbudak oleh sifat buruknya maka ia tidak akan menjadi seorang brahmana”
Yudhisthira :“Kelahiran dan pendidikan baik tidak membuat seseorang menjadi brahmana, hanya kelakuan baik yang membuat seseorang benar-benar menjadi brahmana. Sepandai apapun seseorang jika ia masih diperbudak oleh sifat buruknya maka ia tidak akan menjadi seorang brahmana”
Suara
Gaib : “Keajaiban apakah yang terbesar di dunia ini?”
Yudhisthira : “Tiap orang pergi menghadap pada Batara Yama, namun mereka masih berusaha untuk hidup selama-lamanya, tentu ini merupakan keajaiban terbesar”
Yudhisthira : “Tiap orang pergi menghadap pada Batara Yama, namun mereka masih berusaha untuk hidup selama-lamanya, tentu ini merupakan keajaiban terbesar”
Demikianlah
suara gaib itu memberikan pertanyaan-pertanyan kepada Yudhisthira. Dan
Yudhisthira menjawab semuanya tanpa ragu. Pertanyaan terakhir yang diajukan
oleh suara gaib itu langsung berkaitan dengan saudara-saudaranya.
Suara
Gaib : “Wahai Yudhisthira, salah seorang saudaramu boleh tinggal denganmu
sekarang, siapakah yang engkau pilih ? Dia akan aku hidupkan kembali “.
Yudhisthira
: (Berpikir sesaat, kemudian menjawab) “Aku memilih Nakula, saudaraku yang
kulitnya bersih bagai awan berarak, matanya indah bagai bunga teratai, dadanya
bidang dan lengannya ramping. Tetapi kini ia terbujur kaku bagai sebatang kayu
jati”.
Suara
Gaib : (Belum puas dengan jawaban Yudhisthira dan bertanya lagi) “Kenapa
engkau memilih Nakula, bukan Bhima yang kekuatan raganya lebih besar dari
kekuatan gajah ? Lagipula, kudengar engkau sangat mengasihi Bhima. Atau mengapa
bukan Arjuna yang mahir menggunakan segala macam senjata, terampil olah bela
diri dan jelas dapat melindungimu ? Jelaskan, mengapa engkau memilih Nakula!”
Yudhisthira
: “Dewi Kunti dan Dewi Madri adalah istri ayahku dan mereka adalah ibuku.
Aku, anak Kunti, masih hidup. Jadi dewi Kunti tidak kehilangan keturunan.
Dengan pertimbangan yang sama dan demi keadilan, biarlah Nakula, putra Dewi
Madri, hidup bersamaku”
Suara
gaib itu puas sekali demi mendengar jawaban Yudhisthira yang membuktikan bahwa
ia adil dan berjiwa besar. Ternyata, kijang dan suara gaib itu adalah
penjelmaan dari Dewa Yama, Dewa Kematian, yang ingin menguji kekuatan batin
Yudhisthira. Batara itupun lalu menghidupkan kembali semua saudara Yudhisthira.
Lalu
di hadapan Pandawa, Batara Yama berkata, “Beberapa hari lagi masa pengasingan
kalian di hutan rimba akan selesai. Di tahun ke tigabelas, kalian harus hidup
dengan menyamar. Yakinlah, masa itupun akan dapat kalian lewati dengan baik.
Tidak seorang musuhpun akan mengetahui keberadaan kalian. Kalian pasti lulus
dalam ujian yang berat ini “. Setelah berkata demikian, Batara Yama pun
menghilang.
8.
Dewa Yama Dalam
Purana
Dalam mitologi Hindu,
Sunita (Sanskerta:
सुनीथा; Sunīthā)
adalah putri Mertyu.
Kisah mengenai Sunita dapat ditemukan dalam berbagai kitab purana,
namun riwayatnya kurang dituturkan secara detail. Kitab Padmapurana
menceritakan riwayat Sunita lebih detail, namun versi yang dituturkan agak
berbeda dengan Purana lainnya. Kitab Padmapurana
menyatakan bahwa Sunita adalah putri Yama,
karena Mertyu (bhs. Sanskerta; mṛtyu =
kematian) diidentikkan dengan Yama, dewa kematian, padahal dalam purana
lainnya Mertyu tidak diidentikkan dengan Yama. Purana lainnya
menyebutkan bahwa Mertyu adalah tokoh yang bersifat jahat.
8.1 Kutukan Susangka
Menurut kitab Padmapurana, Sunita
gemar pergi ke tengah hutan bersama teman-temannya. Pada suatu hari, saat
sedang berada di tengah hutan, Sunita melihat seorang bidadara
(gandarwa) sedang bermeditasi, namanya Susangka. Kemudian timbulah keinginan
Sunita untuk menggoda Susangka. Namun, Susangka tidak marah saat Sunita
menggodanya. Ia hanya ingin agar gadis itu menjauh. Karena merasa angkuh
sebagai putri Yama, Sunita enggan meninggalkan Susangka.
Akhirnya Susangka tidak mampu bersabar lebih lama, lalu ia mengutuk bahwa kelak
anak Sunita akan menjadi orang yang bersifat jahat. Kemudian, Sunita pergi
menghadap ayahnya untuk menceritakan kutukan yang baru saja ditimpakan
kepadanya. Yama menyalahkan Sunita, kemudian ia menyuruh Sunita pergi
bermeditasi ke tengah hutan agar kutukan tersebut bisa diperingan. Meskipun
kutukan yang diterima Sunita bisa diperingan, namun tidak ada laki-laki yang
mau menikahinya setelah Sunita dikenal sebagai wanita yang akan melahirkan anak
yang bersifat jahat.
8.2 Menikahi Raja Angga
Sunita memiliki beberapa teman yang memiliki ilmu menarik
perhatian lelaki. Mereka mengetahui bahwa seorang raja bernama Angga menerima anugrah dari dewa Wisnu bahwa kelak anaknya
akan menjadi orang yang baik. Dengan mempertimbangkan hal tersebut, Sunita
yakin bahwa dengan menikahi Angga, maka kutukan yang diterimanya dapat
diterima. Maka dari itu, Sunita mencari Angga dan menarik perhatiannya.
Strategi Sunita berhasil sehingga Angga jatuh cinta padanya, kemudian sang raja
menikahinya. Dari hubungan mereka, lahirlah seorang putra yang diberi nama Wena. Setelah Angga tua,
Wena diangkat menjadi raja.
Menurut kitab Padmapurana, Wena
adalah orang yang berhati baik, sampai seseorang yang tidak mengakui Weda datang kepadanya
dan mengajarkan agama baru. Akhirnya, Wena tidak lagi mengakui ajaran dalam
kitab Weda dan melarang segala praktik keagamaan yang dianjurkan dalam
kitab Weda. Karena kecewa dengan perubahan pada putranya, Angga dan
Sunita berusaha mendidik Wena agar kembali pada jalan yang benar. Namun usaha
tersebut tidak berhasil sama sekali. Karena dilanda rasa kecewa yang besar,
Angga dan Sunita memutuskan untuk pergi ke hutan. Kemudian tidak diketahui
bagaimana nasib mereka.
Dalam Narada Purana disebutkan nasihat Dewa Yama kepada Raja
Bagirata yang ingin membebaskan dosa-dosa leluhurnya yang pernah menghina dan
menyiksa Resi Kapila yang sedang bertapa. Salah satu nasihat Dewa Yama kepada
Raja Bagirata adalah dengan jalan melanjutkan cita-cita suci dari leluhur.
Cita-cita suci leluhur itu tidak semata-mata melakukan meditasi atau Dewasraya.
Tetapi, dengan melakukan perbuatannya nyata seperti menjaga tetap lestarinya
Sarwaprani (tumbuh-tumbuhan dan hewan). Menolong mereka yang sedang susah dan
menderita. Membuka lapangan kerja bagi masyarakat yang memiliki keahlian dan
keterampilan. Membangun pasar, tempat peristirahatan, menghormati mereka yang
berjasa, dan menegakkan keadilan, serta memelihara tempat pemujaan, dst.
Dengan perbuatan baik itulah leluhur akan bebas dari dosa dan
kemudian keturunan mendapatkan keselamatan. Untuk memelihara dan melestarikan
tumbuh-tumbuhan dan hewan leluhur umat Hindu di zaman lampau meninggalkan
warisan konsep kawasan suci. Kawasan suci itu disebut Alas Angker, Alas Rasmini
atau Alas Arum. Salah satu cara melestarikan kawasan suci tersebut dengan
membangun tempat pemujaan sederhana dengan areal yang tidak luas. Tempat
pemujaan di hutan itu tidak perlu didatangi oleh banyak umat. Umat yang datang
ke tempat pemujaan di hutan itu hanyalah orang-orang yang terpilih yang memang
benar-benar bertujuan untuk melakukan pemujaan yang tulus. Bukan untuk rekreasi
atau untuk mereka yang berkaul yang memohon atau melestarikan jabatan, mohon
memenangkan tender proyek dan tujuan-tujuan duniawi lainnya. Karena itu, banyak
leluhur kita di masa lampau meninggalkan hutan-hutan yang disebut alas angker.
Di Bali banyak hutan yang distatuskan sebagai Alas Angker. Tetapi, sekarang
sudah banyak yang dirusak ditebangi pohon-pohon yang berfungsi sebagai waduk
menahan air. Di Pulau Jawa pun masih banyak ada peninggalan Alas Angker seperti
misalnya Alas Purwa di Jawa Timur. Alas Purwa ini juga merupakan peninggalan
leluhur di masa lampau sebagai Alas Angker.
Arti hutan yang distatuskan sebagai Alas Angker oleh leluhur
di masa lampau bertujuan menjaga hutan dengan menstatuskan hutan itu sebagai
hutan yang keramat. Hutan yang disebut Alas Angker itu karena tempatnya
dikeramatkan. Di sana tentu banyak vibrasi kesucian yang tersembunyi di balik
lebatnya pepohonan di hutan tersebut. Oleh karena itu, orang-orang yang
memiliki kepekaan rohani akan sangat tertarik untuk datang ke tempat-tempat
yang seperti itu. Kita tentunya sangat mengharap siapa pun boleh datang ke
hutan yang angker seperti itu, cuma yang perlu dijaga adalah niat suci dan
tulus ikhlas. Janganlah datang dengan tujuan untuk rekreasi duniawi atau
memanjatkan permohonan yang Rajasika dan Tamasika.
Kalau Alas Angker tidak lagi memancarkan keangkerannya maka
orang-orang yang berniat jahat seperti pencuri kayu hutan akan tidak merasa
takut datang ke hutan yang sudah merosot keangkerannya. Di sinilah kita tidak
melanjutkan konsep Alas Angker yang ditinggalkan oleh leluhur kita. Kalau ini
sampai terjadi tinggal kita menunggu balasannya. Balasan itu akan
menyengsarakan rakyat seperti hutan gundul, banyak pohon yang tumbang, sumber
air menghilang, udara terpolusi, cuaca menjadi makin panas.
Dari alam yang rusak itu manusia tinggal memetik buah
penderitaan darinya. Dengan merusak alam seperti itu, leluhur dan keturunan pun
tidak akan terbebaskan dari dosa-dosanya. Kita bersyukur kepada umat di Jawa
Timur yang makin sadar untuk menjaga keangkeran hutannya seperti umat Hindu di
Alas Purwa. Semoga hutan-hutan berserta isinya dijaga dengan cara niskala
diikuti dengan cara-cara yang sekala yaitu dengan langkah nyata melestarikan
hutan tersebut.
9.
Yama Purwana Tattwa Pedoman Ngaben Di Bali
Naskah lontar ini
berasal dari bahasa jawa kuno, yang dapat diartikan sebagai sebuah naskah yang
mengandung nilai filsafat mendalam yang pada dasarnya telah terjadi sejak masa
yang lalu yang diawali dari arah timurnya hutan sebagai arah terbitnya matahari
yang merupakan sebuah kejadian awal suatu kejadian nyata oleh Dewa Yama adalah Dewa yang mengetahui
tentang pitara, roh segala mahluk
dialam mereka yang telah mati (Renawati, 2011), berikut petikan Yama Purwana
Tattwa”
1b. “Om Awigenamastu. Iki sastra Yama Purwana
Tattwa, sdeng bhatari Durgga ring gaganantara tumon atma sasar ring kawah agni,
apalih warnna Bhatari marupa Sang Hyang Yama Dipati, angamel ala-ayuning atma,
waneh ring yani loka tumdhun ring wanti pura, mandadi bhatari Uma Dewi, ri
sdeng nira malinggih ring setragung mraga Bhatari Durga Dewi. Wasitakna padanda
Antap Ender, jumujug ring linggih Bhattari, mangkrak mangkrik kadi singha
Lodra, ling ira, wwang paran iki dateng tan pararapan, mangke dak tugel
gulunta, ridas tinugel gulunya sang jumujung linggih bhatari, saksana dateng
Bhatara Brahma, tka lesu
2a.
Gleng Bhatari Durga, irika ta sang
matapa Ender aminta nugraha ring Bhatari, ribwat kasadyaning ajnana ksttha
siksa, mwah aminta kahilanganing letuh awaning wwang mati, mangda sidha molih
swarggan bhuwana, irika Bhattari asiluman rupa, awarnna Sang Hyang Yama,
krurarupatulia Rudra Murthi, sarika ta sira Sang Hyang Yama Maweh anugraha
warah-warahsuksma ring antapan ender. Kalugra sipinihitan nira sahindik amahayu
sawa, irika kalane ana sastra, nga, Yama Purwana Tattwa, sampun kabye de sang
sdaya kuna-kuna, ring bumi pasurwan, blangbangan, sawengkoning Yamadwipa,
Katkeng Balirajia, nihan daging kecap Yama Purwwana Tattwa, par
2b.
Ssi tingkah angupakara sawa sang
mati, agung, alit, nista, madya, utama, maka patuting wulah sang magama tirtha
ring Bali rajia, kewala wang mati bener tan wnang mapendem, mangda mgeseng
juga, saika supacarania, prasida sang atma polih ring bhatara brahma, apitwi
tan pabia, swasta ring sang hyang agni sida amanggih rahayu sang hyang atma.
Kunang upakaranya magseng, rawuhing setra tibaning tirtha pangentas.............
Terjemahan:
1b. “mudah-mudahan tidak mendapat rintagan.
Ini adalah sastra Yama Purwana Tattwa, pada saat Dewi Durga sedang berada di
awang-awang menjumpai roh manusia yang sedang menderita di kawah api,
disana Dewi Durgaberubah wujud menjadi
Sang Hyang Yamadipati untuk mengetahui baik dan buruknya atma (roh). Setelah
beliau bosan di Yamaniloka kemudian beliau turun ke wantipura berwujud Uma
Dewi. Pada waktu beliau bersemayam di kuburan, beliau berwujud Dewi Durgadewi.
Kemudian disebutkan Pendeta Antap Ender mendatangi tempat Dewi Durga, disana
beliau tercengang dan menjerit bagaikan singa yang garang, lalu beliau berkata,
”manusia apa ini datang dengan tiba-tiba, sekarang aku bunuh kamu”, hampir saja
bhatari Durga memenggal leher orang tersebut, tiba-tiba datanglah Dewa Brahma
menghadap dan seketika itupun kemarahan Dewi Durga menjadi hilang.
2a. Disana
Sang Antapan Ender memohon anugrah kepada Dewi Durga memohon keberhasilan
pikiranya (adnyana Kretasiksa), serta memohon untuk menghilangkan atau
membebaskan penderitaan atau dosa roh orang meninggal, agar mencapai
sorga/moksa. Pada saat itu Dewi Durga berubah wujud menjadi Dewa Yama yang
berwajah seram seperti rudra murti, kemudian Sang Hyang Yama menganugrahkan
segala permintaan Pendeta Antapan Ender untuk mengupacarai orang yang
meninggal. Inilah sebabnya ada sastra yang disebut Yama Purwana Tattwa amat
diutamakan dan dilaksanakan oleh Umat dari zaman kuno di daerah Pasuruan,
Blangbangan dan diseluruh daerah jawa serta Bali. Inilah isi dari Yama Purwana
Tattwa tersebut,
2b. Bila
melakukan upacara kematian sesuai dengan kemampuan yang disebut sederhana,
menengah dan utama. Agar tidak menyimpang dari petunjuk bagi umat yang beragama
Hindu di pulau Bali. Hanya orang yang mati wajar tidak boleh dikuburkan, agar
dibakar saja (ngaben), disertai dengan upacara agar roh orang tersebut mendapat
tempat disisi Dewa Brahma, walaupun tanpa biaya, dengan jalan upacara swasta gni, atma akan berhasil
mendapatkan kebahagiaan yang abadi. Adapun upacara pembakaran/ngaben setibanya
dikuburan diperciki Tirta Pangentas.
Teks dari Yama Purana Tattwa ini sampai saat ini tetap relevan di pakai
sebagai pedoman upacara pitra yajna bagi masyarakat Hindu khususnya di Bali.
Karena dapat memberikan gambaran ataupun tata cara upacara kematian bagi
masyarakat Hindu, terutama membakar mayat. Berarti tanpa adanya sebuah sumber
dan pedoman, maka umat tidak berani melaksanakan upacara tersebut. Hal ini
mesti diperkenalkan kepada umat Hindu, sehingga mampu meningkatkan sradha dan bhaktinya
kepada Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta manifestasi-Nya.
Daftar Pustaka
Nyoman
S. Pendit. 1979. Mahabharata: Sebuah Perang Dahsyat di Medan Kurukshetra.
Jakarta: Bhatara
http://grevada.com/hindu/yudhisthira-dan-telaga-ajaib/